Senin, 09 Oktober 2017

Artikel Perbedaan Perfilman di Era Sebelum Digital dan Sesudah Digital




Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek, dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an ditemukan teknologi laser disk, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD. Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat dengan keserarian masyarakat modern.
Sebelum munculnya era digital, film layar lebar biasanya menggunakan media seluloid yang relatif mahal. Dalam perekaman durasi hitungan menit, harganya mencapai jutaan rupiah.Beberapa tahun yang lalu, menggunakan media rekam seluloid dalam durasi 4 menit, produser film layar lebar harus mengeluarkan kocek Rp. 2,5 juta. Hitungan matematisnya, jika film durasi 90 menit, biaya yang dikeluarkan untuk media rekam seluloid adalah : (90:4) x Rp. 2,5 jt = Rp. 56.250.000,- belum termasuk scene-scene alternatif jika dibutuhkan untuk alternatif visual. Maka untuk biaya satu buah film layar lebar durasi 90 menit dengan alternatif visual yang cukup, otomatis lebih dari Rp. 56 juta. Sekali lagi ini hanya untuk biaya media rekam seluloid! Belum termasuk biaya-biaya yang lain (artis/pemain, lighting, kru film dan lain sebagainya).Dengan biaya yang cukup mahal ini, produksi film layar lebar sangat berimplikasi pada kesiapan semua yang terkait dengan shooting produksi film. Dari properti, semua equipment pendukung (lighting dan lain-lain) sampai pada kesiapan pemain harus betul-betul matang. Sebab jika terjadi kesalahan dalam adegan, maka harus mengulang (re-take). Jika ini terjadi, sekian juta melayang begitu saja. Ini yang mungkin membuat seorang sutradara atau produser terkadang keras dan sering naik darah jika terjadi kesalahan dalam adegan. Itu dulu.
Sesudah di Era digital, membawa efek yang berbeda. Produksi film layar lebar tidak 'wajib' dengan media seluloid. Dengan kamera digital DSLR pun jadi. Tentu dengan format tertentu. Dan harganya pun  lebih murah dibandingkan dengan media seluloid. Sutradara pun tidak harus naik pitam jika terjadi kesalahan dalam adegan. Meskipun hal-hal semacam ini ada batasannya. Artinya beberapa kesalahan masih bisa ditolerir sepanjang tidak keterlaluan.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960 atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid, namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan menayangkan filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat produksi seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung tikar akibat perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal adalah Kodak (meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau, para filmmaker dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era digital telah memegang peranan penting dalam industri film dunia.


DAFTAR PUSTAKA