Perkembangan film memiliki perjalanan cukup panjang
hingga pada akhirnya menjadi seperti film di masa kini yang kaya dengan efek,
dan sangat mudah didapatkan sebagai media hiburan. Perkembangan film dimulai
ketika digunakannya alat kinetoskop temuan Thomas Alfa Edison yang pada masa
itu digunakan oleh penonton individual. Film awal masih bisu dan tidak
berwarna. Pemutaran film di bioskop untuk pertama kalinya dilakukan pada awal
abad 20, hingga industri film Hollywood yang pertama kali, bahkan hingga saat
ini merajai industri perfilman populer secara global. Pada tahun 1927 teknologi
sudah cukup mumpuni untuk memproduksi film bicara yang dialognya dapat didengar
secara langsung, namun masih hitam-putih. Hingga pada 1937 teknologi film sudah
mampu memproduksi film berwarna yang lebih menarik dan diikuti dengan alur
cerita yang mulai populer. Pada tahun1970-an, film sudah bisa direkam dalam
jumlah massal dengan menggunakan videotape yang kemudian dijual. Tahun 1980-an
ditemukan teknologi laser disk, lalu VCD dan kemudian menyusul teknologi DVD.
Hingga saat ini digital movie yang lebih praktis banyak digemari sehingga
semakin menjadikan popularitas film meningkat dan film menjadi semakin dekat
dengan keserarian masyarakat modern.
Sebelum munculnya era digital, film layar lebar
biasanya menggunakan media seluloid yang relatif mahal. Dalam perekaman durasi
hitungan menit, harganya mencapai jutaan rupiah.Beberapa tahun yang lalu,
menggunakan media rekam seluloid dalam durasi 4 menit, produser film layar
lebar harus mengeluarkan kocek Rp. 2,5 juta. Hitungan matematisnya, jika film
durasi 90 menit, biaya yang dikeluarkan untuk media rekam seluloid adalah :
(90:4) x Rp. 2,5 jt = Rp. 56.250.000,- belum termasuk scene-scene alternatif
jika dibutuhkan untuk alternatif visual. Maka untuk biaya satu buah film
layar lebar durasi 90 menit dengan alternatif visual yang cukup, otomatis lebih
dari Rp. 56 juta. Sekali lagi ini hanya untuk biaya media rekam seluloid! Belum
termasuk biaya-biaya yang lain (artis/pemain, lighting, kru film dan lain
sebagainya).Dengan biaya yang cukup mahal ini, produksi film layar lebar sangat
berimplikasi pada kesiapan semua yang terkait dengan shooting produksi film.
Dari properti, semua equipment pendukung (lighting dan lain-lain) sampai pada
kesiapan pemain harus betul-betul matang. Sebab jika terjadi kesalahan dalam
adegan, maka harus mengulang (re-take). Jika ini terjadi, sekian juta
melayang begitu saja. Ini yang mungkin membuat seorang sutradara atau produser
terkadang keras dan sering naik darah jika terjadi kesalahan dalam adegan. Itu
dulu.
Sesudah di Era digital, membawa efek yang berbeda.
Produksi film layar lebar tidak 'wajib' dengan media seluloid. Dengan kamera
digital DSLR pun jadi. Tentu dengan format tertentu. Dan harganya pun
lebih murah dibandingkan dengan media seluloid. Sutradara pun tidak harus
naik pitam jika terjadi kesalahan dalam adegan. Meskipun hal-hal semacam ini
ada batasannya. Artinya beberapa kesalahan masih bisa ditolerir sepanjang tidak
keterlaluan.
Kesuksesan film-film digital tersebut berimbas para
sistem sinema di dunia. Banyak bioskop yang akhirnya menggunakan proyektor
digital dan meninggalkan proyektor film konvensional. Proyektor digital yang
dikenal dengan nama DLP (Digital Light Processing) sanggup menayangkan film
digital dengan resolusi 2K (2048×1080 atau 2,2 megapixels) dan 4K (4096×21960
atau 8.8 megapixels). Sistem pendistribusian film pun tidak lagi memakai reel seluloid,
namun menggunakan file digital DCP (Digital Cinema Package) berbentuk hard-drive
yang nantinya dikopi ke dalam server internal bioskop yang akan menayangkan
filmnya.
Tahun 2002, major studios Hollywood membentuk suatu
organisasi bernama Digital Cinema Initiative (DCI). Organisasi ini diciptakan
untuk menentukan standar arsitektur untuk bioskop digital agar tercapai model
yang seragam secara global, berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada
standar Society of Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun
International Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar
atau format tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi
film, sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content),
pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan
(forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan
mereka disebut DCI Compliance (sesuai dengan DCI). Perbedaan dasar antara
sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi,
dan penayangannya.
Berkembangnya teknologi digital akhirnya membuat
produksi seluloid berkurang drastis. Banyak perusahaan yang akhirnya gulung
tikar akibat perkembangan pesat tersebut. Salah satu yang paling terkenal
adalah Kodak (meski saat ini sudah dinyatakan tidak bangkrut). Mau tidak mau,
para filmmaker dan penonton harus siap menerima fakta bahwa saat ini era
digital telah memegang peranan penting dalam industri film dunia.
DAFTAR PUSTAKA